Pilihan yang sulit: Idan atau Pram?
Cerita lalu:
Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon.
Separuh jiwaku ras anya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
“Kenapa? Idan melarangmu?”
“Dia tidak tahu apa-apa.”
“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau
sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan
denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”
Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.
“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru
akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan,
hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai
hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak
juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”
“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.
“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau
hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu
disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang
lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali
denganku.”
“Aku tidak bisa ….”
“Kenapa tidak?”
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan
memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat
sekali memutuskannya?
“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan
kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan
yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah
bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan
yang mencintai lelaki lain.”
“Aku ….”
“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”
Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh
tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin
cepat. Kupejamkan mataku.
“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.
“Lebih keras lagi.”
“Aku tidak mencintaimu.”
“Kau berbohong.”
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”
“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia”
ku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat
atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa
aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan
sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin
ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa
membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah
denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku
bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang
terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh
Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku
harus segan menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang
tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda
keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus
menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat
orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera
setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”
“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah.”
“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”
“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.< BR>
“Jadi, bicaralah dengan Idan.”
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara
dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.
Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya
berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi
berpikir, ada apa sebenarnya.
“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke
dalam rumah.
“Ada apa?”
“Sst!”
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya
tangannya.
Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga
orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna
hijau dengan gambar … mawar putih?
“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar
sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti
telah berubah warna.
“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatap
ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”
Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.
Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar
tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi.
Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku
sendiri sama sekali tak mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang
menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak
mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera
kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan
segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang
telah kubangun runtuh berserpihan.
“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan
membuyarkan renunganku. “Ada apa?”
Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”
Dahinya berkerut. “Pram?”
“Pacarku yang pergi ke Jerman.”
“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”
“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.
“Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandang
wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin
kita segera bercerai.”
“Oh.”
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya
ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin ia
mencintaimu?”
Aku mengangguk.
“Kau yakin akan bahagia dengannya?”
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut
bahagia.”
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik
pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan
antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa
waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
“Dan?” tegurku.
“Ya?”
“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau
punya alasan untuk bercerai denganku.”
Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”
“Ada apa?” gumamku . Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul
tiga lima belas dini hari.
“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”
Aku terlonjak duduk. “Apa?”
“ Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan.”
“ Baru saja.”
“Di?”
“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”
“Idan ….”
Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang
pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan
masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
“Dan, aku sudah siap.”
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu
taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di
balik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku
terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya
kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia
menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia
kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus
pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya
dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu,
kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.
“Pit, bawa Idan pulang.”
“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”
Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke
halaman belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh
belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu
membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam
dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak di
sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja
tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak
memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar.
Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang
ibunya.
“Aku mau pulang, Dan, ” ujarku sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri.
Besok aku pulang naik bus saja.”
“Aku tidak mau sendirian di rumah.”
Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada
kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira
menggamit tanganku dan berbisik, ” Aku senang Idan sudah menikah
denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia
paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal
dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil.
Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat
untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.
“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”
“Nanti saja. Aku tidak lapar.”
“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara
Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan
muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku
hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan.
Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak
mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku
agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini
membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.
Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja
ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke
kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan
kuselimuti badannya yang menggigil.
“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku.
Mereka ….”
“Aku tahu. Tidak apa-apa ,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus
rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”
Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia
kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya
tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya,
ia memegang tanganku.
“Terima kasih.”
“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”
“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia
tersenyum nakal.
“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.
“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu
serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena
mengira aku sudah beristri. ”
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku
yang mesti berterima kasih kepadamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu.
Pengorbananmu.”
Idan tersenyum kecil. “ Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai.
Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang
berterima kasih.”
“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih.
Mengalahlah sedikit.”
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan
itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide
gilaku ini ,” katanya.
“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai
berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat
usulmu itu sebagai jawaban yang pal ing jitu untuk menyelesaikan dua
masalah sekaligus, keenggananku un tuk menikah, karena tidak ada calon
yang pas; dan keinginan ibuku y ang menggebu-gebu untuk segera melihatku
menikah.”
“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik
lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhir nya. “Aku belajar bahwa aku
tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang
punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa
kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak
mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi
boleh jadi suatu kemenangan bersama.”
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan
seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk
menyatakan semua itu.
“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.
“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi
setelah kau pergi.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat
paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar
suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia
ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku,
aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku
jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan
bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau
mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal
sehat.”
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia
tampak sangat tenang dan serius.
“ Aku masih belum mengerti,” bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini
adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu
lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku
terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas
kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan
tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”
“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta
dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu
datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki
idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang
sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago
pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis
kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu
biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku
benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya
keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa
dengan caramu sendiri.”
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-
tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya.
Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti
ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak
pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti
mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu.
Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang
tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki
cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku
atau melupakanku sekalipun.”
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia
kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin
kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan
akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan
separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku
hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu
lebih dari yang pernah kutunjukkan.”
Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu.
Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”
Lama kami berdua saling berpandangan.
“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat,
menyembunyikan air mataku di bahunya.
“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses
perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas
bicara soal perceraian saat ini.”
“Berapa lama?”
“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”
“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda
kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke
sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita
akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”
“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia
membutuhkan aku.”
“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa
kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?” Aku menghela napas
panjang. “Entahlah, Pram, ” bisikku.
“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.
“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.”
“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau
tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”
“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”
“Tapi kau tidak bahagia!”
“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan
membuatku bahagia.”
“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar
lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena
membuang kesempatan ini.”
“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”
“Ita, kau tidak mencintainya!”
“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”
“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat
mencintaimu?”
“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”
“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”
“Idan mengajariku tentang cinta.”
“Hanya karena itu?”
“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”
“Ita ….”
“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya,
atau mungkin lebih bahagia lagi.”
Telepon kututup sebelum air mataku luruh.
“Upit.”
Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan
berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng
perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia
menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa melihatmu begini ,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang
sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu
sekali lagi?”
Aku mengangguk.
“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.” Aku mengangguk.
“Kau akan menyesal.” Aku mengangguk.
“Kau akan sedih, kecewa ….” Aku mengangguk.
“Kau tidak mencintaiku.” Aku menggeleng.
Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan. “Idan!”
Tamat
Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003
Ada, puisi nih dari seorang sahabatku
baca deh lembar terakhir ini
Salam,
Ku tahu sebaik apapun ku berusaha
Ku hanya manusia biasa
Yang penuh lupa dan dosa
Tapi pada-Mu ya Rabb ku pinta
Siapapun bidadari yg kau siapkan untukku
Semoga ku bisa menjadi yang terbaik baginya
Karena ku tahu ya Rabb ku
Dialah yang terbaik untukku
Dan semoga ya Rabb
Semoga Dalam naungan cinta-Mu
Kita dapat bersama
Dan selalu saling mengingatkan
Untuk sebuah cinta suci mulia
Agar dapat kembali bersua,
Di surga-Mu
0 komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi Blog kami.
Dan di mohon komentarnya. demi perkembangan blog ini ke depannya....