remaja di atas, maka periode ambang masa dewasa
merupakan periode dimana usia remaja mendekati usia
kematangan baik dari segi fisik maupun psikologis. Pada
periode tersebut, remaja berusaha untuk meninggalkan ciri
masa remaja dan berupaya memberikan kesan bahwa
mereka sudah mendekati dewasa. Oleh karena itu, remaja
mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan
dengan status dewasa, seperti keseriusan dalam membina
hubungan dengan lawan jenis.
Berkaitan dengan perkawinan, maka pada periode ambang
masa dewasa, individu dianggap telah siap menghadapi
suatu perkawinan dan kegiatan-kegiatan pokok yang
bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga. Pada masa
tersebut, seseorang diharapkan memainkan peran baru,
seperti peran suami/isteri, orangtua dan pencari nafkah
(Hurlock, 1993). Namun demikian, kestabilan emosi
umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah
orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh
dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun dan pada usia
20-24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa
muda. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari
gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka,
kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi
remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya.
Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya
terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai
suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dan pergantian
status dari lajang menjadi seorang istri atau suami yang
menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus
sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993). Masalah
penyesuaian diri dalam berumah tangga merupakan hal
yang paling pokok dalam membina kebahagian dan
keutuhan rumah tangga.
Perkawinan bukan hanya hubungan antara dua pribadi,
akan tetapi juga merupakan suatu lembaga sosial yang
diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan
memberi perlindungan bagi anak-anak yang akan
dilahirkan dalam masyarakat tersebut, serta untuk
menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok
masyarakat itu sendiri. Banyaknya peraturan-peraturan dan
larangan-larangan sosial bagi sebuah perkawinan
membuktikan adanya perhatian yang besar dari masyarakat
untuk sebuah perkawinan yang akan terjadi.
Kesiapan psikologis menjadi alasan utama untuk menunda
perkawinan. Kesiapan psikologis diartikan sebagai
kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami
atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-
masing dalam rumah tangga. Jika pasangan suami istri
tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan menimbulkan
kecemasan terhadap perkawinan. Akan tetapi sebaliknya
bila pasangan suami istri memiliki pengetahuan akan
tugasnya masing-masing akan menimbulkan kesiapan
psikologis bagi kehidupan berumah tangga. Pasangan yang
siap secara psikologis untuk menikah akan bersikap tidak
saja fleksibel dan adaptif dalam menjalani kehidupan
rumah tangga akan tetapi melihat kehidupan rumah tangga
sebagai suatu yang indah.
Keuntungan dari perkawinan yang dilakukan oleh
pasangan yang siap secara psikologis adalah mereka akan
menyadari implikasi dari sebuah perkawinan dan
menyadari arti dari perkawinan bagi kehidupannya. Oleh
karena itu kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam
memasuki kehidupan perkawinan agar pasangan siap dan
mampu menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan
cara yang bijak, tidak mudah bimbang dan putus asa.
Hanya pasangan suami istri yang mampu melakukan
penyesuaian diri dalam kehidupan rumah tangga yang akan
berhasil mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
diinginkannya. Kesiapan psikologis berkaitan dengan
pemenuhan hak dan tanggung jawab yang harus diemban
oleh masing-masing pihak. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
sejahtera, seorang calon suami/isteri harus benar-benar
siap dan matang secara psikologis.
Pasangan yang memiliki kesiapan untuk menjalani
kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan
menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul
dalam perkawinan. Sebaliknya, pasangan yang tidak
memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan belum
dapat disebut layak untuk melakukan perkawinan,
sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan
atau pendewasaan usia perkawinan.
Penundaan usia perkawinan sampai pada usia minimal 20
tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki diyakini
banyak memberikan keuntungan bagi pasangan dalam
keluarga. Perkawinan di usia dewasa juga akan
memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis.
Semua bentuk kesiapan ini mendukung pasangan untuk
dapat menjalankan peran baru dalam keluarga yang akan
dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil
dan pasangan dapat merasakan kepuasan dalam
perkawinannya kelak.
0 komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi Blog kami.
Dan di mohon komentarnya. demi perkembangan blog ini ke depannya....