Ujian Nasional (UN) akan segera dilaksanakan. Keluh kesah, jeritan-jeritan kecil mengenai sulitnya soal ujian nasional selalu terdengar setiap kali siswa-siswa kelas tiga SMP maupun SMA keluar ruang ujian.
Memang sudah menjadi pola yang umum ketika remaja sekarang cenderung mengambil jalan-jalan pintas dalam mencapai tujuannya. Untuk bisa lulus UN dengan nilai yang memuaskan, kebanyakan dari mereka lebih memilih mengikuti program bimbingan belajar intensif satu bulan sebelum ujian, daripada menyiapkan diri dengan tekun belajar sejak jauh hari di sekolah.
Parahnya, tak sedikit pula yang mengambil jalan tol dengan mencari “bocoran” jawaban soal ujian. Kelompok ini bahkan rela merogoh saku dalam-dalam demi mendapatkan “bocoran” yang paling akurat.
Dari pengalaman melaksanakan tes penelusuran minat bakat, kami menemukan pola yang serupa. Remaja yang sudah menduduki kelas akhir, baik di SMP maupun SMA, sering tak tahu mau melanjutkan sekolah ke mana.
Begitu pula ketika kami melakukan konseling karir bagi para lulusan perguruan tinggi. Masih banyak dari mereka yang merasa kurang yakin harus melanjutkan ke mana jika ingin kuliah lagi, atau memilih bidang kerja apa yang paling pas. Psikolog, ataupun hasil penelusuran minat dan bakat, menjadi tumpuan harapan mereka untuk mendapatkan pengarahan menyeluruh mengenai jalan hidup yang akan mereka tempuh.
Tak jarang, mereka bahkan bertanya kepada psikolog mengenai universitas mana saja yang memiliki jurusan pendidikan yang mereka minati, atau perusahaan mana yang cukup bonafid sebagai tempat memulai karir. Sungguh mengecewakan kalau untuk informasi demikian pun mereka tetap harus disuapi.
Sikap-sikap seperti inilah yang menyebabkan remaja masa kini sering dikatakan sebagai “generasi instan”. Generasi yang maunya langsung bisa melakukan sesuatu, langsung dapat petunjuk dari orang lain, langsung bisa menikmati sesuatu tanpa harus berusaha keras untuk mendapatkannya.
Globalisasi, Keluarga dan Pendidikan
Perubahan yang terjadi dalam lingkungan global, dengan informasi yang sangat mudah diakses, membuat semuanya terlihat serba mudah. Mereka secara otomatis memandang hal-hal yang membutuhkan proses lama sebagai hal yang memakan waktu, tidak praktis, dan merugikan.
Selain itu, semakin tingginya tingkat pendidikan orangtua di dalam keluarga, meningkatkan pula taraf kesejahteraan keluarga. Orangtua juga cenderung tak ingin anaknya ketinggalan zaman, gagap teknologi, atau mengalami kesulitan seperti yang mereka alami dulu.
Hal ini membuat orangtua mudah mengabulkan permintaan anak, atau memfasilitasi anak-anaknya dengan beragam perlengkapan teknologi dan informasi yang belum tentu mereka butuhkan. Alhasil, anak-anak dimanjakan dengan segala kemudahan yang ada dan merasa tak perlu melalui proses yang cukup lama untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Yang menyedihkan, remaja dari kalangan bawah dengan orangtua terbatas ekonomi, mulai banyak melakukan hal-hal melanggar norma demi dapat menyamai gaya hidup rekan-rekannya dari kalangan atas. Beberapa fenomena kriminal mulai dari pencurian oleh remaja, hingga remaja yang menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK), jelas merupakan usaha instan untuk menyetarakan diri dengan remaja lain.
Belum lagi saat ini, banyak sekolah yang hanya mengejar target kelulusan siswa agar nama sekolahnya terdongkrak. Hal ini jelas sangat mempengaruhi sikap orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan formal itu.
Sudah sangat jarang kita dengar ada guru yang menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan di banding sekedar nilai ujian yang tinggi. Kecenderungan cara mengajar guru sekarang adalah memberikan rumus-rumus singkat atau kisi-kisi materi ujian yang dapat membantu siswanya mengerjakan soal ujian secara mudah dan cepat.
Metode pengajaran seperti ini tak lagi mengajak siswa berusaha memahami pelajaran secara menyeluruh, tapi lebih fokus pada topik-topik yang diperkirakan akan keluar dalam ujian kelak. Pada akhirnya, siswa pun enggan meluangkan waktu untuk mempelajari kembali keseluruhan materi pelajaran, karena toh pada akhirnya guru maupun pihak bimbingan belajar akan memberikan ringkasan materi dalam format yang sudah rapi.
Melihat berbagai faktor di atas, tak heran remaja masa kini menjadi generasi yang instan. Karena rupanya banyak sekali kemudahan-kemudahan yang mereka temui dalam kehidupannya. Sampai-sampai untuk menentukan langkah hidup pun mereka begitu saja menyerahkan diri kepada saran psikolog berdasarkan hasil penelusuran minat dan bakat.
Padahal, sebenarnya mereka sangat mampu melakukan sendiri suatu proses, yang dimulai dengan pengenalan potensi diri sendiri, bakat apa yang mereka miliki, dan hal-hal apa saja yang mereka sukai. Dengan menelaah hal-hal ini, mereka dapat mencari sendiri informasi tentang bidang-bidang apa yang bisa mereka geluti di perguruan tinggi atau pekerjaan.
AKU (Ambisi–Kenyataan–Usaha)
Untuk membantu proses pengenalan diri dan penetapan tujuan ini, ada sebuah konsep sederhana yang disebut Penetapan A-K-U (Ambisi–Kenyataan–Usaha). Melalui konsep ini, para remaja bisa mulai belajar menetapkan tujuan-tujuannya sendiri sesuai keadaan dirinya saat ini.
Tidak hanya itu, remaja juga bisa mulai merancang usaha-usaha apa saja yang perlu mereka lakukan untuk bisa mencapai tujuannya tersebut.
Ambisi adalah segala sesuatu yang ingin dicapai seseorang. Untuk mengetahui ambisinya, remaja harus melakukan analisis mengenai apa yang menjadi sasaran-sasaran hidupnya. Hal-hal apa saja yang ia anggap berarti, yang ingin ia raih di masa yang akan datang. Apakah ingin menjadi pengacara terkenal, memiliki restoran keluarga, atau ingin menjadi perancang busana untuk butiknya sendiri.
Yang penting, ambisi yang ditetapkan harus mengikuti hukum SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound). Artinya, ambisi yang hanya berupa “ingin jadi akuntan ngetop” saja tidaklah cukup. Ambisi tersebut perlu dipertajam lagi, misalnya “ingin menjadi akuntan yang tergabung dalam PriceWater House Cooper, dan setelah bekerja selama dua tahun sudah bisa menangani top ten best companies di Indonesia”. Jangan lupa menyelaraskan satu ambisi dengan ambisi yang lain, juga pastikan ambisi-ambisi tersebut mungkin tercapai.
Sementara kenyataan yang dimaksud di sini adalah keadaan diri pribadi remaja. Karakteristik apa saja yang ia miliki, segala bentuk keterbatasan, keahlian, hobi, minat, dan lain lain. Juga termasuk keadaan-keadaan tertentu yang ada di sekitar remaja, misalnya keadaan sosial ekonomi keluarga, jumlah saudara kandung, koneksi-koneksi sosial yang dimiliki, dan sebagainya.
Untuk mempermudah, kenyataan diri dapat disusun menjadi dua bagian besar. Yaitu kenyataan-kenyataan yang sifatnya membantu pencapaian ambisi, dan kenyataan yang berkemungkinan menghambat pencapaian ambisi.
Setelah merumuskan ambisi dan kenyataan dirinya, remaja bisa mulai mencari-cari jalur apa saja yang bisa ia tempuh untuk bisa meraih ambisi-ambisinya. Yang perlu disadari, bahwa terkadang tak mungkin mencapai suatu ambisi dengan hanya mengandalkan usaha satu langkah saja.
Yang menjadi tantangan bukanlah membuat remaja menyusun penetapan A-K-U, tapi menyadarkan bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas masa depan mereka sendiri. Oleh karena itu, hendaknya mereka mau meluangkan waktu untuk sedikit melalui proses mandiri merancang keberhasilan.
0 komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi Blog kami.
Dan di mohon komentarnya. demi perkembangan blog ini ke depannya....